Secara tidak sengaja di dalam bis pada suatu malam dua bulan yang lalu, saya bertemu dengan seorang anak lelaki yang sangat menarik. Dia sangat ramah dan ceria, kemudian tanpa ragu memulai perbincangan. Dengan sedikit iseng saya bertanya, "Kamu masih sekolah?"
Dengan senyuman lepas dia berkata "Jika aku masih sekolah, aku sudah kelas 1 SMP, Mbak, tapi aku sudah berhenti sekolah sejak kelas 5 SD"
Hati saya sangat terenyuh saat mendengar hal itu yang dilanjutkannya dengan berkata" aku sudah pernah kerja di Cirebon, tetapi karena aku wong Jawa tidak bisa bahasa Cirebon, sulit kalo jadi kenek disana, trus aku balik lagi ke Jakarta, disini lebih nyaman!". Rupanya dia bangga menjadi seorang Jawa, saya tersenyum dikedalaman dan entah mengapa sampai saat ini bayangan anak tersebut masih jelas dalam benak saya.
Memang sangat mengenaskan nasib sebagian besar anak-anak di kota ini. Jika kita lihat dibanyak perempatan lampu merah dengan pemandangan anak-anak balita dalam gendongan seorang wanita (entah ibunya atau bukan) yang sedang meminta-minta sudah merupakan hal yang biasa. Bahkan terkadang anak-anak itu sendiri yang turun kejalan dan memasuki bis-bis atau mengetok kaca mobil tuk meminta-minta. Belum lagi anak-anak yang tertidur (atau ditidurkan) pada banyak jembatan penyebrangan hingga larut malam. Jangankan mengenal buku dan pensil, atap rumah saja tidak mereka kenal kecuali setiap hari berada dibawah langit kelam kota ini. Akan tetapi walau mereka belum mampu mengecap 'keindahan' dari negeri ini, mereka tidak meragukan kewarganegaraan mereka di negeri ini. Mereka akan menjawab dengan bangga, lantang dan pasti jika ditanyakan asal mereka dan negeri mereka. Tidak ada keraguan sedikitpun.
Perjumpaan-perjumpaan dengan mereka ini sering menggelitik hati saya "apa yang dapat saya lakukan" untuk perbaikan. Bagaimana nasib bangsa ini jika mereka anak-anak itu akan menjadi generasi penerus bangsa ini pada saatnya nanti?? Kemana mata para penguasa selama ini ? Apakah mereka tidak pernah menyaksikan pemandangan diperempatan lampu merah dan jembatan-jembatan penyeberangan itu ? Apakah hal ini belum menjadi suatu issue karena prosentasenya yang dianggap masih kecil ?
Memang ada kalangan tertentu di negeri ini yang mampu menikmati sekolah mewah yang prestisius. Sekolah yang hanya dapt dimasuki oleh mereka yang memiliki orang tua dengan income tertentu. Mereka mendapatkan segala yang baik dinegeri ini. Akan tetapi saat mereka tidak bisa secara lancar berbahasa Indonesia, bahasa negara dimana mereka hidup dan berkembang, saya menjadi bertanya-tanya "siapa mereka ini sebenarnya ??"
Banyak orang-orang yang berusaha mengambil aneka keuntungan dari keberadaan mereka di negeri ini. Mereka bekerja, beranak cucu, membesarkan anak-anak mereka, menikmati fasilitas yang ada dan memiliki kekayaan karena keberadaan mereka di negeri ini, akan tetapi selalu menghujat dan membenci negeri ini bukan karena ingin mengkritisi untuk membangun tetapi karena mereka memang opportunis!
Betapa geram rasanya, saat menedengar seorang teman berkata"jika ada negara yang akan menyerang negeri ini, maka aku akan mendukung negara tersebut". Rasanya ingin marah!! Memang harus mengakui bahwa dalam perjalanannya (akibat penguasa yang kurang bijaksana) ada masa kelabu yang harus dialami oleh golongan tertentu dinegeri ini. Tetapi bukan berarti kita terus membawa luka itu sepanjang hidup dan menularkannya kepada generasi selanjutnya. Jika terus begitu, maka rantai kepahitan itu tidak akan pernah selesai!!
Jika kita tidak mampu memberi sesuatu bagi negeri ini, maka janganlah kita membenci, menghujat atau memperburuk keadaan. Sebab negeri ini telah memberi banyak hal berharga bagi kita! Janganlah kita mengaburkan impian indah para pendiri negeri ini pada mulanya !
No comments:
Post a Comment